Jakarta, PusatHeadline – Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan bahwa apabila pengaturan keamanan media sosial di Indonesia diterapkan ada baiknya harus lebih inklusif untuk masyarakat yang lebih luas.
Hal tersebut dinilai lebih efektif karena masih banyaknya masyarakat di Indonesia yang masih belum bijak bermedia sosial dan akhirnya kerap menjadi korban dari konten-konten negatif yang bertebaran di media sosial.
“Jadi lebih baik pengaturan untuk penggunaan media sosial secara lebih luas. Jadi bukan hanya anak-anak saja yang harus dilindungi tetapi semua pengguna media sosial. Karena kita lihat banyak juga korban-korban media sosial yang tidak cuma anak-anak di bawah umur namun juga ada korban seperti ibu- ibu dan perempuan-perempuan dewasa yang jadi korban,” kata Firman, Jumat (31/1).
Firman menerangkan salah satu contoh ancaman negatif dari media sosial yang dimaksud seperti kasus sextortion atau kekerasan seksual online yang berakhir dengan memeras korban karena ketidakpahamannya dalam menjaga privasi di ruang digital.
Kasus yang sama pernah terjadi di pertengahan tahun 2024 dan terjadi di beberapa lokasi seperti Bekasi, Jawa Barat dan Tangerang Selatan, Banten. Pada dua lokasi berbeda terjadi kondisi di mana ibu yang mencabuli buah hatinya dan memvideokan hal tersebut karena diancam teman daring dari media sosial.
Maka dari itu, dibandingkan menyiapkan pengaturan yang sengaja membatasi kelompok umur tertentu, Firman berpendapat ada baiknya Pemerintah dapat menghadirkan mekanisme pengaturan media sosial bisa lebih inklusif.
Menurutnya lebih baik Pemerintah mengatur peran masing-masing kelompok seperti komunitas, orang tua, platform media sosial, bahkan pemerintah memastikan ruang digital yang dimanfaatkan masyarakat Indonesia bisa lebih aman dan menekan konten-konten negatif.
“Jadi lebih baik pemerintah mengatur pembagian peran. Misalnya terkait relasi orang tua dengan anak dalam bermedia sosial, dijelaskan pula apa peran orang tua, dan apa peran anak. Lalu ada pula apa peran komunitas, dan apa peran platform, serta peran pemerintah. Jadi bukan mengatur pembatasan usia tertentu akan tetapi lebih pas mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial dengan cara yang tepat,” kata Firman.
Apalagi jika melihat perkembangan teknologi komunikasi, Firman mengatakan kekhawatirannya terkait dengan dampak negatif yang pasti selalu ada di setiap perkembangan teknologi komunikasi.
Tidak hanya di era media sosial, kekhawatiran dampak buruk dari perkembangan teknologi komunikasi sudah ada sejak abjad atau aksara berbasis tulisan turut terjadi di masa terkait.
Namun akhirnya abjad tetap bertahan karena banyak dampak positifnya apabila bisa diajarkan penggunaannya secara tepat, maka dari itu Firman menyebutkan hal serupa juga harusnya dilakukan di masa media sosial di era modern sat ini.
“Karena ini adalah perangkat yang bakal digunakan dalam jangka panjang sebagai perangkat untuk ekspresi budaya, maka yang tepat itu harus diajarkan cara penggunaannya dengan benar,” ujarnya.
Apabila kebijakan pengaturan untuk bermedia sosial diciptakan, Firman mengatakan ada baiknya pemerintah menitikberatkan tanggung jawab platform dalam memastikan sistem moderasi konten.
Hal ini diperlukan karena sebagai inovator maka platform harus bisa menghadirkan sistem yang handal dan menekan peredaran konten negatif.
” Aturan ini harusnya menekankan peran platform yang harus dipastikan keamanan layanannya karena mereka yang mengadakan sortir terhadap konten-konten negatif dari berbagai platform,” kata Firman.
Berkaitan dengan pengaturan media sosial, sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan untuk melakukan pembatasan akses media sosial bagi anak di bawah umur.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid pada Kamis (30/1) menyebutkan pihaknya masih melakukan kajian untuk membentuk aturan tersebut.
“Mengenai pembatasan media sosial untuk anak-anak, itu masih kita kaji lebih lanjut dalam rancangan peraturan pemerintah atau mungkin undang-undang baru yang juga sedang dibahas,” ucap Meutya di Jakarta.
Menurutnya pengaturan media sosial dibutuhkan untuk melindungi anak-anak dari risiko paparan konten negatif di ruang digital.
Ia juga menyebutkan Kemkomdigi masih mengumpulkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai penyusunan rancangan peraturan penggunaan media sosial bagi anak – anak.
Meutya menambahkan bahwa pemerintah akan meminta masukan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kelompok pendidik, para orang tua, serta pemerhati anak mengenai penyiapan rancangan peraturan tersebut.
“Kami akan menerima semua masukan dengan hati-hati dan bijak, dikarenakan ini bukan hal yang bisa diputuskan secara terburu-buru,” katanya.