Keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk mengerahkan prajurit guna mengamankan kantor Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia mengundang reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Kritikus menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk nyata militerisasi ranah hukum, yang tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan reformasi sektor keamanan.
Pemahaman Dasar Tentang Militerisasi
Militerisasi dalam konteks pemerintahan sipil merujuk pada proses di mana lembaga militer mulai mengambil alih fungsi-fungsi yang seharusnya menjadi domain institusi sipil. Dalam kasus ini, pengamanan lembaga penegak hukum yang seharusnya dilakukan oleh aparat kepolisian atau satuan pengamanan internal, malah diberikan kepada institusi militer.
Langkah tersebut dianggap mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sesuatu yang telah dikoreksi sejak era reformasi 1998. Sejak saat itu, Indonesia berusaha membangun kembali institusi negara dengan memisahkan tegas peran militer dari urusan sipil.
Kritik Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan penolakan keras terhadap kebijakan Panglima TNI. Ardi Manto, Direktur Imparsial, mengatakan bahwa tindakan tersebut telah melanggar sejumlah aturan hukum, termasuk UUD 1945, UU TNI, UU Kekuasaan Kehakiman, dan UU Kejaksaan.
“Kami tidak melihat adanya dasar hukum yang sah yang membenarkan pengerahan TNI ke kantor kejaksaan. Ini bisa menjadi preseden buruk yang membuka pintu kembali bagi dominasi militer di ruang sipil,” ungkap Ardi dalam pernyataan tertulisnya.
Lemahnya Dasar MoU TNI-Kejaksaan
Pengerahan pasukan ini merujuk pada Memorandum of Understanding (MoU) antara TNI dan Kejaksaan. Namun, menurut para ahli hukum, MoU bukanlah bentuk regulasi yang memiliki kekuatan hukum mengikat untuk melegitimasi pengerahan aparat militer.
Dalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk pelibatan TNI dalam urusan sipil harus merujuk pada skema Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang pelaksanaannya hanya sah jika diatur dalam peraturan presiden dan telah mendapat persetujuan DPR. Tanpa itu, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Risiko Terhadap Supremasi Hukum
Pengerahan TNI ke institusi penegakan hukum juga dinilai berisiko besar terhadap independensi dan objektivitas lembaga hukum. Kehadiran militer di ruang-ruang penegakan hukum dapat menimbulkan ketakutan atau bahkan tekanan psikologis terhadap jaksa dan pegawai kejaksaan.
Alih-alih memperkuat sistem hukum, langkah ini justru melemahkannya dengan menciptakan ilusi keamanan yang dibangun di atas fondasi ketidakpastian hukum. Supremasi hukum hanya bisa ditegakkan jika lembaga hukum bebas dari intervensi kekuatan bersenjata.
Apakah Ancaman Nyata Itu Ada?
Pertanyaan fundamental yang diajukan oleh banyak pihak adalah: apakah benar ada ancaman yang cukup besar hingga memerlukan pengerahan militer? Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, situasi keamanan di lingkungan kejaksaan masih dalam batas terkendali dan tidak menunjukkan indikasi ancaman berskala besar.
“Selama ini, kejaksaan mampu menjalankan tugasnya dengan pengamanan internal dan dukungan dari kepolisian. Tidak ada eskalasi situasi yang membenarkan keterlibatan militer,” tambah Ardi.
Konsekuensi Sosial dan Politik
Keputusan untuk melibatkan TNI di institusi sipil seperti kejaksaan berpotensi menimbulkan ketegangan sosial dan memperkeruh iklim politik. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah jika merasa bahwa militer kembali diberi ruang yang terlalu luas dalam urusan sipil.
Selain itu, keputusan ini bisa digunakan sebagai alat politisasi militer untuk kepentingan tertentu. Bila tidak dikendalikan dengan regulasi yang ketat, kebijakan semacam ini bisa berkembang menjadi praktik yang membahayakan demokrasi.
Desakan Evaluasi dan Pembatalan Kebijakan
Mengingat tingginya potensi pelanggaran hukum dan etika dalam kebijakan ini, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden dan DPR untuk segera mengevaluasi dan membatalkan pengerahan TNI ke kejaksaan. Evaluasi ini penting demi menjaga konstitusionalitas kebijakan publik dan menjaga institusi penegak hukum dari intervensi yang tidak sah.
Transparansi dalam proses evaluasi serta pelibatan lembaga seperti Komnas HAM dan lembaga akademik sangat penting. Ini untuk memastikan bahwa proses kebijakan publik berlangsung akuntabel dan partisipatif.
Pengerahan TNI ke kantor kejaksaan bukan hanya soal pengamanan, tetapi juga soal prinsip, hukum, dan masa depan demokrasi Indonesia. Jika tidak ditangani secara hati-hati dan sesuai koridor hukum, kebijakan ini bisa membawa dampak serius terhadap tatanan kenegaraan.
Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi dan mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan. Menjaga supremasi hukum dan membatasi peran militer dalam urusan sipil adalah fondasi penting dalam membangun negara hukum yang demokratis dan berkeadilan.